Kamis, 28 Juni 2012

Saga No Gabai Baachan ( Nenek Hebat dari Saga )

Judul Novel : Saga No Gabai Baachan (Nenek Hebat dari Saga)

Karya : Yoshichi Shimada

Penerjemah : Indah S. Pratidina

Penerbit : Kansha Books

Tebal : 264 Halaman

Cetakan I : April 2011

Cetakan II : May 2011

Diterbitkan oleh : Kansha Books

Alur yang digunakan adalah alur mundur

Tokoh utama dalam novel ini adalah Akihiro Tokunaga dan Nenek Osano dari pihak Ibu Akihiro Tokunaga

Sewaktu kecil aku dititipkan kepada nenek dari pihak ibu. Nenek lahir pada tahun ke-33 era Meiji (1900). Di tahun 17 era Showa (1942), pada masa perang suaminya meninggal. Kemudian sejsak saat itu dia hidup dalam masa pasca-perang sebagai tukang bersih-bersih di Universitas Saga. Nenek bertahan hidup sambil membesarkan lima anak perempuan dan dua anak laki-laki. Aku hidup bersama nenek sejak tahun 33 era Showa (1958) , ketika itu umur nenek sudah berusia 58 tahun, namun masih tetap bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Sudah pasti hidupnya jauh dari kemewahan. Sembilan tahun lalu, nenek meninggal dunia dengan tenang di usia 91 tahun. Aku menyadari banyak hal terutama mengenai kebenaran nilai-nilai yang ditinggalkan olehnya.

Berikut adalah ringkasan dari isi novel Saga No Gabai Baachan (Nenek Hebat dari Saga) :

Tanggal 6 Agustus tahun 20 era Showa. Bom atom pertama yang dijatuhkan di muka bumi mendarat di Hiroshima, dampak mengerikan peristiwa ini langsung terasa pada sebagian besar rakyatnya, tidak terkecuali Akihiro dan keluarganya. Bukan hanya harus menghadapi himpitan ekonomi yang makin terpuruk tapi juga harus kehilangan sosok ayah yang menjadi tulang punggung keluarga akibat terpapar radiasi bom atom. Setelah ditinggal mati oleh ayah, ibu membuka usaha bar di Hiroshima untuk membesarkan aku dan abangku. Masalah sebenarnya timbul ketika aku sudah masuk sekolah dasar dan mulai dapat pergi sendiri kke bar temat ibu bekerja di tengah malam. Aku yang masih kecil berkeliaran sendiri hingga ketempat kerja ibu, sudah pasti membuatnya cemas. Mungkin sejak saat itulah, ibu dan yang lainnya mulai secara rahasia menjalankan suatu rencana. Suatu hari ketika aku naik kelas 2 SD, adik perempuan ibu yang bernama Bibi Kisako datang dari Saga. Tak butuh waktu lama aku pun dekat dengan Bibi Kisako. Aku bahkan sempat berpikir semoga saja bibi selalu ada bersama kami.

Keesokan harinya, aku dan ibu pergi ke Stasiun Hiroshima untuk mengantar Bibi Kisako. Aku yang mengenakan pakaian berpergianku dan sepatu kulitku yang mengkilap. Setelah itu kami naik ke peron stasiun, tak lama kereta api pun datang. Aku merasakan beratnya berpisah dengan Bibi Kisako. Bel keberangkatan kereta pun berbunyi, kemudian beberapa saat sebelum pintu gerbong kereta menutup, terdengarlah suara”buk!”. Bersamaan dengan suara itu, aku kehilangan keseimbangan dan tubuhku terjatuh ke depan. Ketika aku menoleh kebelakang aku terjatuh dalam pelukan bibi yang menangkapku. Saat itulah aku menyadari bahwa ibu lah yang telah mendorongku. Ternyata aku telah ditipu bulat-bulat. Bilangnya saja hendak mengantarkan bibi pulang, tetapi akulah yang diantar pergi. Kalau sudah begini aku mengerti arti dari baju berpergian yang bagus dan sepatu mengkilapku.

Akibat kejadian ini, aku menderita semacam trauma. Meski begitu, sering kali dalam kisah perjalanan hidup yang penuh tantangan, aku mendengar kata-kata, “ Berkat dorongan si A, maka aku berhasil mencapai keputusan.” Hidupku sungguh berubah karena dorongan dari ibu di hari itu. Namun ternyata dalam kehidupan itu sekali rodanya berputar maka takkan habis perputarannya. Di Saga, Akihiro dan neneknya menjalani kehidupan yang terbilang sangat sederhana. Di Saga kehidupannya lebih miskin lagi dari sebelumnya. Pernah suatu ketika, pada saat Akihiro sedang berbincang dengan neneknya mengenai makan malam mereka yang sangat sederhana hingga membuat hati terenyuh karenanya.

" Nek,dua-tiga hari ini,kita makan kok hanya nasi ya, tanpa lauk?" Setelah aku berkata begitu sambil tertawa terbahak-bahak, nenekku menjawab, " Besok nasi pun takkan ada kok." Aku dan nenek hanya bertatapan mata,kemudian kembali terbahak bersama-sama. (bagian prolog)

Paku yang sebelumnya dipandang sebagai benda kecil yang tak terperhatikan di jalanan menjadi ladang uang ditangan Nenek Osano melalui magnet yang tersampir dipinggangnya ketika berjalan.

“Sungguh sayang kalau kita sekedar berjalan. Padahal kalau kita berjalan sambil menarik magnet, lihat, begini menguntungkannya, kalau kita jual, sampah logam lumayan tinggi harganya. Benda yang jatuh pun kalau kita sia-siakan, bisa dapat tulah.” (hal 42)

Sambil berkata, nenek mencabuti sampah logam dari magnetnya kemudia memasukkannya ke ember khusus. Namun rupanya kejutan untukku belum berakhir sampai disitu.

Di permukaan sungai yang bergelombang tampak terapung sebatang galah yang dibentangkan. Kemudian tersangkut pada galah tersebut, ranting pohon atau semacamnya. Tadi, sewaktu mengamati sungai aku sempat bertanya-tanya, “itu apa ya?”. Tak disangka nenek lah yang memasangnya disana. Ternyata nenek biasa mengumpulkan ranting atau batang pohon yang tersangkut di galah tersebut, kemudian digunakan sebagai kayu bakar.

“ Selain sungai jadi bersih, kita mendapatkan bahan bakar secara cuma-cuma. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.” (hal 43)

Tidak hanya ranting dan batang pohon saja yang tersangkut pada galah yang dipasang oleh nenek, bahkan terkadang sayuran yang tidak jelek pun datang bersama aliran air sungai seperti lobak, tomat, sawi putih dan yang lainnya tersangkut di galah nenek. Sayuran tersebut diperoleh karena di masa itu, sayuran yang datang ke pasar biasanya dalam keadaan berlumpur. Karena itulah pedagang akan memperkerjakan ibu-ibu secara paruh waktu untuk membersihkan sayuran di sungai, pada saat mencuci sayuran mereka sibuk bercakap-cakap sehingga mungkin saja ada sayur yang terlepas dari tangan mereka dan terbawa arus aliran sungai. Itulah sebabnya nenek menyebut sungai sebagai supermarket.

Di Saga kami memang hidup miskin, akan tetapi bersamaan dengan kenyataan itu aku memperoleh kesempatan untuk memiliki pengalaman yang luar biasa dan kesempatan untuk menjalani hari-hari yang sangat menyenangkan. Hingga aku mau lulus SMA nenek selalu mempunyai ratusan ide kreatif, dari ide-ide itulah aku belajar banyak hal dari nenek.

Hingga suatu saat, aku menerima kabar menggembirakan. Ternyata aku diterima di SMA Kouryou di Hiroshima sebagai murid penerima beasiswa. Pada saat mendapatkan kabar gembira itu aku segera memberitahukan kepada nenek. Tapi sejak hari itu ada yang aneh dengan nenek. Meski secara langsung tidak mampu bilang bahwa dia ingin agar aku tetap tinggal di Saga. Aku memang sangat ingin tinggal bersama ibuku, tapi meninggalkan nenek hidup sendirian di Saga membuat hatiku sedih. Musim dingin tahun ini benar-benar berlalu dengan cepat. Tanpa terasa hari kelulusan pun tiba. Seminggu setelah hari kelulusan pun tiba. Aku sedang bersiap-siap keluar dari rumah dengan menjinjing tas kecil di tangan. Bukannya mengantarkanku pergi, nenek keluar rumah seperti biasa di pagi hari, untuk mencuci ketel di sungai. Lalu aku pun berpamitan pada punggung nenek. Ketika aku mengintip sedikit ke balik punggung nenek, aku melihat nenek sedang menangis. Rupanya nenek sedang berpura-pura sibuk denga air ketelnya, supaya dapat menutupi itu debgab mencipratkan air ke wajah. Aku pun membelakangi nenek dan mulai melangkah. Ketika melambaikan tangan lebar-lebar, aku dapat melihat nenek balas melambaikan tangan kepadaku. Benar-benar nenek yang keras kepala. Mungkin sekitar dua atau tiga langkah kemudian, aku dapat mendengar suara nenek dari balik punggungku dan berkata “Jangan ppergiiiii!.”

Berbagai hal terjadi sejak aku meninggalkan Saga. Meski tadinya aku bermimpi untuk menjadi pemain baseball profesional, entah bagaimana aku malah melakukan debut sebagai kelompok lawak “B&B”, kemudian menjadi salah satu yang terkenal saat manzai booming. Meski begitu, sampai kapan pun, aku merasa prinsip-prinsip hidupku seperti mengakar pada ajaran nenek saat hidup di Saga Walaupun hidup miskin, Nenek Osano bukan orang yang pantang menyerah dan bersedih pada keadaan. Meskipun begitu, Nenek Osano selalu punya ratusan ide kreatif untuk mencari nafkah dan membesarkan cucunya. Dengan kehidupan yang seperti ini, Aikihiro justru menjadi sadar bahwa untuk menjadi bahagia itu tidak butuh uang. Hidup yang mereka jalani memang berat, tetapi penuh canda dan tawa. “ Keluarga kita miskin yang ceria,” kata nenek yang selalu tertawa. Dia tidak pernah membiarkan dirinya dikalahkan keadaan dan sungguh selalu tampak bahagia. Menurutku, kehidupan yang dijalani nenek lah yang dapat disebut “ Kehidupan yang baik.”

Dari cerita ini aku mendapatkan pesan moral bahwa sebenarnya tidaklah sulit untuk mecapai kebahagiaan. Kita hanya perlu menikmati apa pun yang terjadi dalam hidup, menyantap dengan bersyukur makanan apa pun yang ada di depan mata, lalu hidup dengan tawa setiap harinya. Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang, melainkan sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri yaitu oleh hati kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar